Lolongan anjing tanpa henti memekakkan telingaku, suara mereka berkeliaran, berlarian menyusuri gang-gang sempit tak tentu arah, mencari kepuasan di gemerlap malam. Aku sendirian dan hanya menatap kosong ke arah luar, melihat mereka yang ke sana kemari. Malam itu angin berhembus kencang dan bulan bersinar terang. Sesekali awan hitam akan melewatinya dan ketika keadaan berubah gelap, sebuah tembakan terdengar. Orang-orang keluar dari kamar-kamarnya tapi tak berani keluar dari pintu rumahnya. Mereka mengintip melalui jendela sama seperti diriku. Aku bisa merasakannya, hawa membunuh itu.
Beberapa hari yang lalu ketika aku sedang berjalan tenang di sebuah taman bersama sahabatku, aku merasakan sensasi terbakar di dadaku, seperti seseorang menyulutnya dengan bensin dan membiarkannya hangus terbakar. Tak lama setelah aku merasakan itu semua, seseorang terbunuh tepat di seberangku, ia ditusuk dengan kejam oleh seorang pria lain yang berjalan ke arahnya sambil menyembunyikan sebuah belati. Tikaman demi tikaman dilancarkan, sampai keduanya berlumuran darah.
Malam ini tak jauh berbeda, aku merasakan sebuah sensasi itu ketika hendak tidur. Kawanku di kamar sebelah keluar ketika mendengar lolongan anjing, begitu juga denganku.
“Saya ngerasain itu lagi Bar, sensasi itu,” kataku pelan ketika ia keluar dari kamarnya.
“Mungkin cuma perasaanmu aja karena kejadian tempo hari.”
Ia kembali ke kamar dan sensasi di dadaku berangsur-angsur menghilang. Tak lama dari situ aku mengamati jalanan dan terdengar tembakan tadi.
Keesokan harinya ketika kami hendak pergi ke kampus, kami berpapasan dengan beberapa orang yang sedang berkumpul di persimpangan jalan. Waktu itu matahari sudah menunjukkan dirinya dan sinar hangat menyambut pagi kami yang sedikit dingin. Orang-orang itu membicarakan tentang kejadian semalam. Seseorang kembali terbunuh dan ditemukan bersimbah darah di sebuah lorong sempit. Mayatnya dijilati oleh anjing liar.
Mereka berbisik-bisik menerka apa yang menjadi penyebab penembakan itu. Ada yang beranggapan ia dibunuh karena dendam, ada yang beranggapan ia dibunuh karena tidak mau membayar seorang PSK dan PSK tersebut menyimpan sebuah senjata api, lalu setelah mereka melakukannya, sang PSK menembaknya. Sungguh aneh pemikiran mereka.
“Menurut kamu apa yang jadi penyebab penembakan itu,” kata sahabatku.
“Entahlah,” kataku. “Nggak perlu ada alasan untuk berbuat jahat, sama seperti nggak perlu ada alasan untuk kita berbuat baik.”
Ia diam sejenak mencerna perkataanku, kami berjalan ke arah timur menghadap matahari yang semakin lama semakin meninggi. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Kamu tau,” ucapnya, “antara saya yang bodoh atau emang perkataanmu sulit saya cerna.”
“Entahlah bar mungkin memang kamu yang bodoh.”
Tiba-tiba ia terhenti dan menatapku dengan tatapan penuh amarah. Aku tak sempat menghiraukan amarahnya pagi itu karena dadaku kembali terasa panas. Kepalaku tak henti-henti menoleh ke sana kemari. Mataku menggerayangi seluruh detail tempat itu dan seluruh orang yang mondar mandir sejak tadi. Tapi selama apapun aku mencari, tak ada pembunuhan yang terjadi.
Aku melihat ke arah sahabatku dan ia tertawa kecil karena tingkahku. Ia membuat lelucon tentang itu dan seluruh orang yang mendengarnya ikut tertawa. Perasaan terbakar itu kembali muncul dan aku masih tak bisa menemukan pembunuhan pagi itu. Sangat konyol rasanya, mencari kejadian mengerikan di tengah pagi yang indah ini. Aku menunggu hingga siang tapi tetap saja tak ada pembunuhan yang terjadi.
Saat makan siang aku merasakan hawa itu lagi, hawa pembunuh yang sangat mengerikan yang membuatku tak bisa menikmati makan siangku. Sekali lagi perasaan itu muncul ketika ia datang duduk di sebelahku, sahabatku. Ia menyantap dengan gembira seperti seorang yang tanpa beban sedangkan aku merasakan hawa ini sedari tadi, rasa khawatir akan sebuah pembunuhan menyelimutiku tiada akhir. Keramaian kantin kampus siang itu membuat kepalaku sedikit sakit dan sekali lagi ia mengejekku dan menggunakanku sebagai lelucon di depan gadis-gadis cantik, sekali lagi perasaan itu menyelimutiku. Ia selalu melakukan itu, menjadikanku bahan lelucon untuk mendapatkan perhatian gadis-gadis cantik di kampusku.
Perlahan-lahan musim berganti dari kemarau menjadi penghujan. Aku masih menatap keluar jendela ketika perasaan itu muncul, beberapa kali firasat itu tepat tapi seringkali firasat aneh itu tak tepat. Ketepatannya bergantung kepada satu hal. Ada atau tidaknya sahabatku di dekatku. Bila ia di dekatku maka firasat itu jadi kacau dan tak ada pembunuhan terjadi. Sungguh. Aku menaruh kecurigaan padanya. Apakah selama ini firasat itu datang darinya yang ingin menyakitiku.
Hujan membasahi tiap sudut kota tempatku tinggal, mengisi tiap selokan mampet yang tak kunjung dirawat. Air-air mulai menggenang dan ketika matahari kembali muncul dari balik awan hitam, tercipta pantulannya yang indah dari genangan-genangan itu. Aku masih menatap keluar. Menyaksikan keadaan di luar karena firasat itu kembali muncul. Kecurigaanku semakin menjadi karena aku sedang bersamanya di kamarku. Kami baru saja berdebat dan perasaan itu kembali muncul. Ia melihatku dengan tatapan itu. Sepertinya ia ingin membunuhku. Aku tidak punya pilihan lain.
Malam sudah tiba dan ia tak bernyawa, tapi firasat aneh itu tak lenyap jua.