Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, Pak Tua itu datang ke taman, membawa sebuah payung hitam legam untuk menutupi terpaan sinar mentari. Ia mengenakan jaket abu-abu dan celana coklat tua yang sudah memudar, terlihat beberapa bekas jahitan di lututnya, aku pernah mendapatinya terjatuh sekali, katanya ia terbiasa akan hal itu. Ia mengenakan topi pet untuk menutupi kebotakan rambut putihnya, menambah kesan tua pada dirinya.
Pak Tua itu tak pernah terlihat sedih sedikitpun, aku selalu mendapatinya ceria dan tersenyum. Siang itu aku datang ke sana, ke bangku taman tempatnya biasa duduk. Ia tersenyum ketika aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
“Bagaimana kabarnya Mas?” tanyanya padaku.
“Baik Pak, kalau Bapak gimana?”
“Alhamdulillah.”
Ia kembali fokus melihat orang-orang yang berjalan ke sana kemari. Senyumannya tak pudar. Tangannya bertumpu pada tongkat pendek yang selalu dibawanya dan tangan yang berkeriput itu selalu bergetar.
“Bapak sudah makan?” tanyaku.
“Sudah,” katanya pelan. Aku harus menunggu beberapa detik sebelum ia menyelesaikan kata itu.
Aku membuka kotak makan siangku yang berisi dua buah roti lapis. Ia melihatku sejenak dengan senyumannya dan kembali mengamati jalan. Aku memakan sepotong roti dengan nikmat. Kunyahan demi kunyahan kulancarkan, sampai pada satu titik terhenti karena aku tak sanggup mengunyah lebih banyak, dalam keheningan suara perut Pak Tua terdengar olehku. Setelah satu potong roti habis, kuletakkan kotak makan siangku di sebelahku.
“Saya udah kenyang banget Pak, sayang kalau dibuang, gimana kalau bapak cicip… buatan Nenek saya, enak banget, serius.”
Ia melihatku sebentar, lalu dengan senyuman khasnya ia berkata, “Yasudah, saya cicip ya?” ia meletakkan tongkatnya di sebelah kanannya lalu mengambil roti lapis di sebelah kirinya. Setiap gerakan dilakukannya dengan lambat, tangannya sedikit bergetar dan ketika mengunyah, ia tampak sedikit kesulitan namun dapat teratasi. Ia memastikan kunyahannya ada di antara dua puluh sampai tiga puluh kali, lebih sering di angka dua puluh tujuh.
Butuh waktu agak lama untuk ia menghabiskan roti lapis itu, aku menunggunya dengan tenang. Ia terlihat cukup lega setelah memakannya. Ia mencari sapu tangan dan aku memberikan milikku, tentu yang masih baru. Setelah selesai membersihkan mulutnya, aku memberinya satu cangkir teh dari termosku, ia meminumnya dengan tenang dan teh itu habis dalam enam tegukkan.
Kini matahari benar-benar tepat di atas kepala kami, sinarnya sangat menyengat dan aku tak tahan berlama-lama di sana, tapi Pak Tua tetap kokoh ditemani payung hitamnya. Aku berpamitan dengannya dan berjanji akan datang membawa berbagai masakan Nenekku dan memintanya untuk bersedia mencicipi semuanya, ia setuju dan tampak sangat senang dengan tawaranku. Tentu aku berbohong tentang Nenekku. Karena janji itu aku jadi mulai sering mencoba berbagai masakan baru di rumah, memasak untuk orang lain terasa menyenangkan, apalagi bila dimakan dengan lahap seperti yang dilakukan Pak Tua.
Belakangan kami mulai dekat dan banyak bercerita mengenai segala hal, apa saja. hingga suatu waktu ia tak datang ke bangku taman itu. Hari itu memang agak gerimis. Suara rintikan gerimis itu bersahut-sahutan di permukaan payungku. Tetesannya berkumpul lalu terjatuh ke tanah dan mencipratkan butir-butir tanah ke celanaku. Aku menunggunya selama tiga puluh menit sampai celanaku dipenuhi tanah, namun ia tak kunjung datang. Awalnya kupikir ia tak datang karena hujan, tetapi di keesokan hari yang cerah, ia tak datang juga.
Beberapa hari kemudian seorang pelari menyadari diriku yang seperti menunggu Pak Tua itu, ia datang menghampiriku yang sedang celingak-celinguk mencari keberadaannya. Menurut keterangannya di hari yang sedang gerimis itu, ia melihat Pak Tua terjatuh, terjatuh dengan cukup keras hingga membuatnya terluka di sekitar lengannya. Sang Pelari membantunya menelpon ambulans, Pak Tua itu dibawa ke rumah sakit dan setelah kejadian itu ia tak pernah datang lagi.
Mendengar itu, nafsu makanku hilang, aku memberikan kotak bekal itu kepada Sang Pelari, ia menerimanya dengan senang hati. Aku bertanya mengenai rumah sakit mana kira-kira Pak Tua itu di bawa. Ia menjawab Rumah Sakit Kota.
Di hari yang sama aku langsung ke sana, mencari keberadaannya selama beberapa jam. Tak ada yang tahu, salah seorang perawat mengatakan ia telah dipulangkan ke rumahnya. Ia memberikan alamatnya dan tanpa berpikir panjang aku langsung ke sana.
Matahari sudah hampir terbenam ketika aku sampai ke komplek perumahannya. Tempat ini tak jauh dari taman, tapi aku tak pernah menyadari keberadaan komplek ini sebelumnya. Aku berjalan perlahan menyusuri jalan setapak berbatu. Seorang bapak-bapak menyiram jalan itu dengan selang, menciptakan bebatuan yang mengkilap dan sedikit licin.
“Mau kemana Mas?” sapanya hangat. Ia tersenyum lebar memperlihatkan beberapa giginya yang telah tanggal.
Aku menjelaskan maksudku padanya.
Ia terdiam sejenak, senyuman tadi berubah menjadi wajah yang dingin.
“Ada perlu apa nyari Pak Abdul?”
“Saya agak khawatir karena katanya dia masuk rumah sakit kemarin.”
“Masnya ini siapa?” tanyanya masih tanpa senyuman.
“Saya cuma kenalannya, kami sering ngobrol di taman.”
Mendengar perkataanku barusan, wajah dingin tadi kembali menghangat, rupanya ia mengiraku sebagai keluarga Pak Tua yang telah lama meninggalkannya sendirian di rumah itu. dari keterangannya Pak Tua itu telah meninggal di hari ia terjatuh. Dan dari keterangannya, ia meninggal sendirian di atas kasurnya sambil mendekap alquran. Di dalam alquran itu terselip sedikit uang, cukup untuk membiayai pemakamannya.