Bakat Sama dengan Racun?

A young boy with a traditional hat plays the violin outdoors, showcasing musical talent and passion.
Foto oleh Pok Rie.

Mereka berbakat?

Ketika sedang scrolling, gak jarang saya melihat berbagai perkembangan orang-orang yang (bagi saya) gak masuk akal. Tiba-tiba si A sudah bisa melakukan ini, si B sudah berhasil mengejar impiannya, si C entahlah… terlalu banyak yang diperhatikan, masa saya harus ingat sama si C segala. Tapi yang jelas, dunia yang sekarang memang seperti itu.

Orang-orang tertentu mencapai tujuan mereka secara instan, padahal sebelum-sebelumnya mereka gak kelihatan berusaha, mereka gak kelihatan berjuang, dan mereka gak pernah mengeluh. Tiba-tiba sudah jadi ini dan itu.

Dan, pandangan seperti itu bagi saya cukup buruk.

Pikiran seperti itu membuat saya secara otomatis menyamaratakan mereka semua dengan satu kalimat, “Mereka memang berbakat”. Saya gak tahu orang lain berpikir demikian atau gak. Tapi, saya rasa berpikir seperti itu ibarat meludah di hadapan seseorang yang lebih tua.

Ungkapan berbakat adalah sebuah penghinaan terhadap hasrat dan kegigihan. Kita gak lihat bagaimana mereka yang mencapai tujuan adalah orang yang bangun paling pagi, kerja paling lama, atau setidaknya meluangkan waktu sedikit lebih banyak untuk mengejar impiannya.

Bakat adalah pengalih

Dalam bukunya yang berjudul Grit (ya saya tahu, lagi-lagi buku itu!) Angela Duckworth mendapati sebuah fakta menarik. Ketika ia mengajar matematika, beberapa anak secara cepat dapat memahami permasalahan yang sedang dibahas, sedangkan yang lainnya mengalami keterlambatan. Di akhir periode pembelajaran terdapat ketimpangan antara si pintar dan si tidak pintar.

Angela Duckworth kemudian mengamati hal ini. Anak-anak yang berbakat cenderung lebih unggul di awal dan seiring berjalan waktu anak-anak yang kurang berbakat memiliki peningkatan perlahan-lahan. Apa yang terjadi sebenarnya adalah, anak-anak yang tidak berbakat cenderung mengeluarkan upaya yang lebih besar dari yang berbakat. Mereka mulai melakukan latihan harian dan mengerjakan tugas dengan sempurna. Ia berakhir pada kesimpulan bahwa bakat mengalihkan perhatian kita dari upaya.

Argumen bahwa bakat adalah pengalih ini juga sejalan dengan penelitian Carol S. Dweck di bukunya yang berjudul Mindset (kebetulan saya baru baca dua bab awal). Ia berpendapat bahwa, ada dua mindset utama yang dimiliki manusia, yaitu fixed mindset (mindset tetap) dan growth mindset (mindset berkembang). Fixed mindset berarti percaya bahwa sifat seseorang sudah ditetapkan dari lahir (berbakat), sedangkan growth mindset berarti  percaya kalau sifat-sifat seseorang dapat berubah dan berkembang melalui pembelajaran  dan pengalaman (berupaya).

Orang-orang dengan fixed mindset terpaku pada bawaan lahir (bakat) sehingga bila dihadapkan pada sesuatu yang mereka tidak bisa kuasai atau terlalu menantang, mereka merasa tidak berbakat dan tidak cerdas. Dan, pada akhirnya tidak memiliki ketertarikan dalam bidang tersebut.

Di sisi lain, orang-orang yang memiliki growth mindset (tidak percaya pada bakat) akan menggapai keberhasilan dengan tetap bertumbuh. Karena tak ada beban semacam kepercayaan yang kuat terhadap bakat (mungkin).

Kenapa saya menganggap bakat=racun?

Dulu saya seringkali merasa berbakat. Untuk sebuah konteks, dahulu saya adalah seorang Bboy yang bisa dibilang ‘berbakat’. Dalam beberapa sesi latihan saya bisa menguasai sebuah gerakan, yang mungkin bagi kebanyakan teman sebaya cenderung memakan waktu yang lama.

Bakat itu membuat saya terlena hingga di satu titik, saya gak ngerasa tertantang untuk melakukan ini. Seperti, ini bukan hal yang saya mau.

 Lambat laun saya menurunkan intensitas latihan. Lama-kelamaan saya gak berlatih sama sekali. Hingga, di satu titik ada satu atau dua hal yang (tidak bisa saya sebutkan secara gamblang) membuat saya lupa akan hobi saya waktu itu.

Apa yang bisa saya petik dari pengalaman itu adalah, ketika saya menganggap diri saya berbakat dalam melakukan gerakan itu—karena saya bisa menguasainya dalam waktu singkat—saya seperti meludahi upaya dan passion saya selama ini.

Ada kecenderungan yang terbentuk. Ketika berlatih gerakan yang jelas-jelas lebih sulit, saya merasa sepertinya saya berbakat dan saya pasti bisa menguasainya sama seperti sebelumnya. Tetapi rasa akan ‘berbakat’ itu memberatkan diri saya. Ketika saya tak bisa menguasai gerakan yang lebih sulit dalam waktu singkat, entah kenapa saya merasa bodoh dan tidak berbakat.

Dan dari titik itu saya menjadi seperti ini. Menganggap bakat adalah racun dan bagaimana bakat membuat kita terlena untuk sesaat. Mungkin pandangan saya akan bakat yang salah. Mungkin waktu itu prefrontal cortex saya belum terbentuk sepenuhnya, jadi saya terjebak dalam fixed mindset dan merasa bahwa bakat adalah segalanya. Entahlah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top