Menulis dan AI

Abstract illustration of AI with silhouette head full of eyes, symbolizing observation and technology.
Gambar Oleh Tara Winstead

Terkadang, ketika saya membaca berita di instagram atau sekedar nge-scroll youtube short, gak jarang saya mendapati susunan kata, kalimat, dan irama yang hampir sama dari postingan-postingan di media tersebut. Beneran. Dan, hal seperti ini terjadi setiap hari.

Pikiran pertama saya adalah “Ini pasti AI…” dan mungkin, memang AI.

Saya bukan orang yang naif, dan pada dasarnya gak ada yang salah dengan itu, mungkin hanya saya yang terlalu rewel dengan ‘AI’ ini.

Tapi lama kelamaan cukup meresahkan juga ketika mendapati banyaknya postingan yang mulai digantikan AI. Fakta-fakta receh dan gak penting berseliweran dengan dubbing dan text AI. Apalagi dengan karya fiksi yang tercipta dari AI. Semakin lama hal kreatif gak jadi kreatif lagi. Semuanya jadi template dan memiliki kesamaan satu sama lainnya.

 Tapi, kenapa bisa begitu? Kenapa orang-orang lebih memilih menggunakan AI ketimbang menulis sendiri? ada banyak alasannya, tapi yang paling jelas adalah menulis itu melelahkan.

Menulis itu Melelahkan

Yup, menulis adalah aktivitas yang melelahkan, entah itu menulis manual atau mengetik, pokoknya melelahkan. Memikirkan kalimat mana yang tepat, kata apa yang seharusnya digunakan di sini, dan apakah ejaannya sudah benar? Itu semua memakan waktu dan gak  menjamin hasil yang bagus juga.

Belum lagi ketika menulis, ada satu hal yang paling dibenci (biasanya oleh penulis pemula) yaitu writers block. Apa itu writers block? Simpelnya, sebuah hambatan ketika menulis. Ingin menulis tetapi gak tahu apa kelanjutan dari tulisannya.

Biasanya ini terjadi karena kekurangan inspirasi atau kekurangan ide-ide, minimnya riset atau sesimpel mood lagi jelek dan tubuh menolak untuk melakukan aktivitas menulis. Hal-hal seperti ini gak akan dialami AI.

Karena AI memberikan kemudahan, AI menjamin kesempurnaan, Hasilnya sat-set langsung keluar.

Kenapa Gak Pakai AI Aja?

Jadi, kalau menulis itu melelahkan, kenapa nggak pakai AI aja dalam menulis? Jawabannya adalah karena AI membunuh kreativitas. Tentu membunuhnya nggak secara langsung tetapi perlahan-lahan. Saya rasa, ada satu kejadian yang dapat saya jadikan contoh di sini.

Saya teringat pada kisah George RR Martin yang belum menuntaskan serial novelnya (A Song of Ice and Fire, yang diadaptasi menjadi serial Game of Thrones) namun serial Game of Thrones sudah lebih dulu tuntas. Saya gak tahu apakah ada hubungan konkret di antara keduanya, tetapi saya rasa, ada kemungkinan bahwa kreativitasnya menurun karena karyanya telah lebih dulu dituntaskan oleh orang lain.

Hal serupa juga pernah terjadi pada saya, namun dalam kasus ini AI yang lebih dulu menuntaskannya.

Beberapa bulan yang lalu saya menulis sebuah cerpen dan meminta AI memberikan penilaian terhadap tulisan saya. Namun, tanpa saya sangka, ia juga memberikan varisi jalan cerita kedepannya, agar karya saya jadi lebih baik (menurutnya).

Ia menuntaskannya. Dan, nggak tahu kenapa, saya mengalami perasaan enggan untuk menulis lanjutan cerita pendek itu dan berakhir membiarkannya begitu saja. Alasannya simpel, saya nggak bisa memikirkan jalan cerita yang lebih baik dari sarannya.

Ketika karya saya diselesaikan oleh AI, tidak ada rasa kepemilikan di dalamnya. Tidak ada keinginan unuk menyelesaikannya.

Saya nggak tahu apakah orang lain merasakan hal yang sama atau nggak, tapi kisah George RR Martin tadi lah yang membuat saya berpikir demikian (Meski kisah itu kemungkinan tidak benar).

Pentingnya Perspektif

Ada sesuatu yang dikatakan suara penulis. Suara penulis terbentuk dari bagaimana sang penulis memandang segala sesuatu di dunia ini. Antara satu penulis dan penulis lainnya tentu berbeda dalam mendeskripsikan sebuah hal. Walau ada kemiripan, tetapi setiap penulis punya ciri khasnya tersendiri.

Seperti antara Haruki Murakami dan John Grisham sangat berbeda dalam bercerita. Yang satu penuh perumpamaan sedangkan yang satu penuh dengan deskripsi makanan yang lezat.

Ketika saya mengatakan bahwa menulis itu melelahkan, hal itu juga mencakup suara penulis. Mendapatkan suara penulis itu nggak sesimpel menulis apa yang kita pikirkan lalu keluar menjadi suara yang khas, yang ketika dibaca, kita tahu siapa yang menulisnya.

Suara terbentuk dari perspektif, perspektif terbentuk dari segala hal yang terjadi di kehidupan kita selama ini. Sedangkan setiap orang mengalami kehidupan yang berbeda-beda, AI malah menyamaratakannya dengan tulisan sempurna namun datar.

Terkadang ketika berkonsultasi dengan AI, AI memberikan saran yang terlalu general tanpa mengetahui karakter dan bagaimana cara kita mengungkapkan satu hal. Apa yang kita sebut sebagai suara penulis dan perspektif itu dianggapnya sebagai sebuah kecacatan atau ketidaksempurnaan yang mesti disempurnakan.

Di sisi lain, perspektif membuat tulisan tidak sempurna tetapi jauh lebih berwarna dan bersuara. Setiap tulisan jadi memiliki ciri khasnya tersendiri, membuatnya unik dan menjadi satu-satunya.

Bagaimana Saya Memanfaatkan Teknologi Ini?

Hanya karena AI menyimpan banyak sisi negatif, bukan berarti saya nggak menyentuhnya sama sekali. Saya cukup sering menggunakannya. Terutama dalam menulis di blog.

Saya nggak menyuruhnya menulis sebuah artikel lalu menguploadnya. Saya menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan penulis utama. Ketika memiliki sebuah ide (khususnya esai opini seperti ini) saya menggunakan AI dalam penyusunan outline, meminta referensi bacaan atau pengembangan sub babnya. Sehingga tulisan lebih terstruktur dan bisa menghemat sedikit waktu tanpa mengorbankan kreativitas.

Lalu untuk penulisan fiksi saya jarang sekali menggunakan AI. Paling-paling saya menggunakannya untuk riset atau sekedar mengecek typo. Selebihnya saya mengandalkan diri sendiri. Mungkin itu sebabnya banyak cerpen saya yang kelewat aneh dan gak normal, entahlah…

Harus Beriringan

Mau sekeras apapun kita menghindarinya kita akan tetap berbenturan dengan AI. Dan (kata orang-orang), kalau nggak beradaptasi kita bisa ketinggalan. Mungkin benar, karena sedikit banyak AI juga bermanfaat.

Hanya saja, sebagai manusia kita harus tahu mana batasannya. Jangan sedikit-sedikit AI, apalagi di bidang kreatif. Yang terpenting asah skill pribadi dan gunakan AI sebagai alat bantu aja.

Karena pada akhirnya, AI nggak lebih dari sebuah teknologi tanpa perasaan dan tanpa perspektif yang terlalu datar dan membosankan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top