
Kapten kami naik ke podium, membawa selembar kertas yang dipenuhi noda lumpur dan darah, membalut kertas itu seperti ada tumpahan kopi di atasnya. Tapi dengan sadar aku tahu itu lumpur dan darah, sebab surat itu milik temanku dan aku mengambilnya langsung dari mayatnya.
Kini sang Kapten mulai membaca, ia berkata, “Aku ingin menjadi seorang pria.” Dan, air mata si kapten menetes perlahan, seakan sosok gagah di depanku hanyalah bayi cengeng, tetapi ia tak sendirian, separuh dari kami juga begitu. Separuh dari kami sudah jelas begitu…
Kamerad Timo sejatinya adalah seseorang yang pengecut dan pendiam. Ia gemar bermain gitar dan menuliskan kami surat-surat ucapan selamat di hari-hari penting. Di saat keadaan sedang dingin dan angin-angin ribut membawa teriakan ketakutan dari seluruh penjuru medan pertempuran, kamerad Timo akan bernyanyi untuk kami dengan tenang.
Seperti kataku, ia pengecut dan pendiam tetapi ia tak menunjukkannya selagi bersama orang lain. Masing-masing dari kami tahu itu, dan kami menyimpan semacam rahasia umum itu agar tidak ia ketahui. Karena dengan begitu kami bisa menjaga kewarasan satu sama lain. Berusaha menutupi fakta bahwa orang di sebelah kami takut adalah cara terbaik untuk membangkitkan semangat di hati.
Timo bertubuh tidak terlalu pendek, badannya agak gempal dan suaranya lembut tetapi bila dipaksakan bersuara keras maka suara yang keluar dari mulutnya adalah suara serak yang mencekik tenggorokan. Ketika sedang menyerbu sebuah parit, ia akan berlari paling belakang, sembari menggenggam senapannya ia pun menahan helmnya yang agak kebesaran agar tak terlepas. Ketika sedang menghadapi serangan musuh ia akan meringkuk di ceruk parit sembari berbisik ke telinganya sendiri, memejamkan matanya seakan suara ledakan akan lenyap dalam gelap. Namun kondisi demikian hanya terjadi di awal-awal, kemudian ia berubah menjadi sesosok pemberi semangat tanpa dimintai. Berubah menjadi motivator ulung di tengah pertempuran nampaknya membawa kepopuleran, jadi ia mulai diomongi diam-diam.
Dengan suara yang terbata-bata Kapten kami kembali melanjutkan, “Aku ingin menjadi seorang pria.”
Aku telah memaafkan segalanya dan hanya bisa bersyukur.
Aku berjanji bila makanan tak sesuai dengan keinginanku, aku akan bersyukur.
Bila perempuan yang kusukai menjauh, aku akan bersyukur, meski sedih.
Kami tertawa sejenak di bagian ini, begitu juga dengan si kapten. Kemudian terdengar suara “sst” dari segala penjuru dan keheningan kembali datang. Si kapten pun melanjutkan.
Bila hidup sangat tidak adil, aku akan bersyukur.
Bila aku dihadapi hal buruk, aku akan berusaha mencari baiknya.
Bila aku jatuh, aku akan bangun.
Dan bila suatu saat nanti aku mati… aku… aku akan mati tanpa penyesalan, karena aku selalu berjuang dan bersyukur.
Kapten menghentikan bacaannya sejenak, nampaknya suara gagahnya pun menipis, ia menarik napas dan keheningan kembali.
Apa yang dikatakannya mungkin terdengar omong kosong bagi sebagian orang. Aku berjanji bahwa apa yang dikatakannya di surat itu adalah apa yang kulihat di beberapa hari terakhir sebelum kematiannya. Ia seperti seorang yang terlahir kembali. Seperti tanpa masalah ia berkeliling dan membagikan kue kering buatan ibunya. Meski rasanya tidak enak dan terlalu kering, aku tetap mencoba menelannya dan berakhir tersedak. Dan setelah banyak orang yang mengalami demikian, kamerad Timo hanya bisa menunduk menyesal. Keesokan harinya kudapati dirinya memakani kue kering itu satu persatu sembari mengusap matanya. Aku tak menegurnya atau pun berusaha diam, aku justru berusaha berlagak normal dengan bersiul supaya ia sempat mengusap air matanya sebelum orang lain datang. Biar bagaimanapun, aku rasa kesedihan datang dikala kita sendirian, soalnya ketika di keramaian keinginan untuk menangis itu tak pernah ada.
Aku sering mendengar, ketika menjelang kematian seseorang akan berubah menjadi versi terbaik dirinya atau versi terburuk dirinya. Hal demikian mungkin jarang terjadi, lantaran aku hanya melihat semacam perubahan dari ceria menjadi pendiam, dan aku tidak tahu apakah itu sesuatu yang baik atau buruk. Hanya saja itulah yang kulihat dari orang-orang sebelumnya, yang telah mati lebih dulu. Dan di Timo aku mendapati hal jarang itu.
Tak kusadari si kapten sudah selesai mengambil napas.
Aku ingin menjadi pria. Pria kuat yang selalu kuat. Yang tak perlu teman dan perempuan di hidupnya. Yang terbebas dari penyakit. Yang sehat. Yang bisa terus tersenyum.
Aku ingin menjadi pria yang memandang dunia dengan jujur, tanpa kepalsuan kecil yang membuatku menghakimi. Aku ingin berekspresi dan aku ingin tetap berjalan… meski aku akan mati, perjuanganku akan hidup.
Si Kapten membuka kacamatanya, mengambil sapu tangan dari saku bajunya dan mengusap-usap pelan air yang mengalir lembut di bawah kelopak matanya. Orang seperti itu bisa menangis begini adalah sebuah keanehan tersendiri di benakku. Setahuku pun ia orang yang paling tegas.
Setelah memasang kembali kacamatanya ia lanjut membaca.
Caraku memandang dunia sekarang sangatlah buruk.
Caraku berpendapat masih setengah-setengah.
Caraku mencintai sesuatu masih bodoh.
Caraku berjalan masih kaku.
Caraku hidup masih salah.
Caraku marah masih kasar.
Caraku tersinggung menunjukkan bahwa aku tak percaya pada diriku.
Caraku menjadi seorang anak masih membangkang.
Caraku menjadi seorang adik masih membantah.
Caraku menjadi seorang kakak masih tidak dewasa.
Caraku menjadi seorang hamba masih tidak tahu diri.
Aku berharap tanpa berkaca. Aku sering meminta tanpa memberi. Sering berpikiran kotor dan bodoh dan penuh amarah dan penuh nafsu dan keegoisan dan keraguan dan kesalahan.
Aku ingin menjadi seorang pria. Selayaknya kakekku. Selayaknya ayahku. Selayaknya para pria di luar sana. Selayaknya para pejuang. Selayaknya orang yang tenggelam dalam hasrat menjadi baik.
Surat itu pun selesai dibacakan. Semua orang hening. Beberapa orang menunduk. Beberapa menahan air matanya. Beberapa melonggarkan kerah baju mereka. Bagaimana denganku? Aku malah terpikir sesuatu di malam sebelum kematiannya.
Waktu itu hujan dan selayaknya hujan di parit, air-air yang berjatuhan di atas bukit akan turun mengarah pada kami. Dan semalaman penuh kami menguras air di parit dengan ember dan peralatan seadanya. Di sana aku melihat Timo sedang menyembunyikan sesuatu di tanah paling atas ceruk tempatnya biasa tidur. Kemudian ia ikut berlari mengambil ember dan mulai mennguras air-air itu.
Sehari sebelumnya ia datang ke ruanganku, bertanya apakah ia boleh menggunakan mesin tik? Aku bilang ini bukan ranahku untuk memberimu izin. Maka ia mengangguk. Karena menulis surat pun adalah sesuatu yang wajar, maka kutawarkan dirinya, “Mau tinta dan pena saja?”
“Eh boleh saya meminjamnya?” tanyanya.
“Boleh kok.” Aku bangkit dan mengambil peralatan itu di rak dan ia menunggu dengan manis di pintu, menutupi segala kesibukan di luar. Ketika kuberikan alat tulis itu ia tak henti-henti berterimakasih dan mengatakan bahwa dirinya akan selalu mengingat kebaikanku. Padahal hanya sebuah pena, ucapku dalam hati. Saat itu ia sudah mulai menjadi seseorang yang agak berbeda dan populer, soalnya setiap kali di malam sepi dan ketakutan memenuhi parit, ia sudah mulai bernyanyi, dan para kamerad lainnya mengumpulkan uang untuk membelikannya sebuah gitar di toko rongsokan. Tepatnya bukan membelikan sih, soalnya pak tua pemilik toko langsung memberi dan menunduk takut.
Setelah acara pemakaman, semua orang kembali ke posnya. Hari itu tak ada serangan atau semacamnya, jadi aku kembali ke pusat komando. Kunyalakan sebatang lilin dan dengan korek yang sama kunyalakan juga rokokku. Aku duduk di depan mesin tik dengan surat timo di tangan kiriku. Berkali-kali kupandangi surat itu sebelum menyalinnya. Seiring suara mesin tik yang semakin cepat, di kejauhan garis depan terdengar gema kamerad lainnya yang menyanyikan sebuah lagu.
Dan di sinilah diriku, membacai surat itu berkali-kali dan berupaya menyalinnya sebaik mungkin… karena pria mana yang tega memberi surat penuh noda darah seorang anak pada ibunya, kan?
