Burung Bernyanyi dan Ayam Berkokok

‘Aku bukan orang yang cukup pintar dan cermat di sekolah’ kira-kira itulah jawabanku bila seseorang bertanya mengenai pekerjaanku sekarang ini. Aku bekerja di pasar, memotong kepala ayam ataupun merpati. Bukan pekerjaan yang rumit sebetulnya, kau cuma perlu mengayunkan pisau beberapa kali sampai nadinya terputus. Aku sudah terbiasa dengan kegiatan ini. Aku menyukainya.

Pagi itu aku tengah duduk menatap sekelilingku, pasar sangat ramai dan sangat berisik, orang-orang berjalan berhimpitan dan seluruh aroma bercampur aduk. Tapi ada satu aroma yang tak ada, aroma darah unggas. Menikmati sekeliling adalah sesuatu yang sangat bisa kunikmati, hanya perlu duduk diam di sini dan semuanya berjalan dengan sendirinya, aku pun menyalakan sebatang rokok dan menghirupnya secara perlahan. Rasanya sungguh nikmat, orang-orang bilang merokok adalah salah satu cara untuk menenangkan pikiran, tetapi pikiranku tetap tak bisa tenang. Ada target yang harus kukejar. Apabila aku tak memotong unggas-unggas ini maka tak ada pemasukan bagiku.

Hari-hari seperti ini sangat jarang terjadi, sampai pukul delapan pagi masih tidak ada yang mencari daging ayam ataupun merpati. Aku tak bisa tinggal diam dan akhirnya ikut berteriak. Sejatinya aku membenci berteriak seperti ini. Bagiku itu terlihat menyedihkan, sangat menyedihkan. Aku berteriak ke sana kemari, dari pagi sampai siang hari. Semakin lama suaraku semakin meninggi. Semakin lama suaraku habis ditelan bumi. Aku tak menyerah begitu saja, aku mengambil sepotong daging dan berjalan keliling. Orang-orang melihatku dengan tatapan sinis dan ada rasa yang tidak nyaman bergelayut di hatiku.

Aku kembali ke kiosku pukul  tiga sore. Ini benar-benar hari yang sangat buruk. Aku tak pernah mengalami yang seperti ini sebelumnya. Paling-paling di waktu sepi aku bisa menjual sepuluh sampai lima belas ekor ayam. Sekarang tidak ada sama sekali. Aku terdiam dan menunduk lesu di kursiku. Lantai kiosku sangat bersih. Sangat jarang pemandangan seperti ini terjadi. Di saat itulah seseorang mendekat, tubuhnya yang tinggi dan besar menghalangi sinar matahari. Aku mendongak dan melihat ke arahnya. Ia menggunakan topi baseball dan kacamata hitam. Mulutnya tetutup masker dan ia mengenakan jaket kulit  di tubuhnya. Sangat jarang aku melihat penampilan seperti itu di pasar.

“Iya ada yang bisa saya bantu?” kataku, aku berdiri dan memperbaiki celemekku yang sudah agak kusut.

Orang itu hanya mengangguk dan menatapku kosong, ia menunjuk ayam dan merpati. Kombinasi yang cukup unik pikirku. Ia pun tak bersuara sedikitpun. Ia mengisyaratkan dengan jarinya bahwa ia menginginkan satu ekor ayam dan satu ekor merpati saja.

“Wah-wah mau masak apa ni Pak?” kataku. Aku mangambil satu ekor ayam dan mulai  memotongnya. Ia hanya melihatku kosong dan tak menjawabku. Aku meletakkan ayam itu di atas talenan kayu. Akan tetapi ayam itu berkokok sangat keras, ia seperti menolak diriku.

Tiba tiba saja seseorang berbicara.

“Pak tolong… jangan dipotong.” Katanya.

Aku melihat ke arah orang tadi dan ia masih berdiri di sana dan menatapku kosong. Ia perlahan menurunkan maskernya dan tersenyum lebar. Namun anehnya suara itu terdengar kembali.

“Pak… jangan potong saya.” Katanya. Pada saat ini aku masih melihat ke arah si pemesan tadi. Ia masih tersenyum lebar dan melihatku. Mulutnya tak bergerak seinci pun.

Aku melihat ke arah ayam tadi. ia membuka paruhnya dan terdengar kembali suara rengekan itu. “Pak tolong, jangan potong saya.”

Nyatanya selama ini ayam itulah yang berteriak. Aku langsung melemparkannya ke arah kandang, benturan itu sangat keras dan membangunkan separuh unggas di sana. Mereka berteriak satu sama lain, mengeluarkan kata-kata yang tak pernah terpikir olehku akan dikeluarkan oleh unggas-unggas itu. Bulu di tubuhku merinding seketika dan perutku terasa penuh oleh muntahan yang akan segera keluar. Aku melihat kembali ke arah si pembeli, memastikan tak cuma diriku yang menyadari itu. Ia melihat ke arahku dan tersenyum lebar, semakin lama senyuman itu semakin lebar dan bibirnya terlihat sobek di sisi kiri dan kanannya. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi dan saat aku ingin berlari meninggalkan tempat itu, ia tertawa dengan sangat keras meninggalkan tempatnya dalam hitungan detik. Ia menghilang entah ke mana.

Aku tak bisa berpikir jernih lagi, unggas-unggas ini semakin lama semakin ribut. Tanpa berpikir panjang aku meninggalkan tempat itu. Menutupnya rapat-rapat dan berlari pulang. Aku tak pernah meninggalkan warung seperti saat itu. Biasanya aku  harus mengepelnya, membersihkan kandang ayam itu, dan membawa mereka semua kembali ke tempat yang lebih terbuka. Kali ini aku tak melakukannya. Aku langsung berlari ke rumah setelah mengunci pintu kiosku.

Perjalanan ke rumah tak pernah terasa lebih lama dari biasanya. Rasanya ada yang mengawasiku di sepanjang perjalanan. Aku memacu motorku di kecepatan penuh namun harus terhenti di sebuah perempatan. Saat menunggu lampu merah aku mulai bersiul mengikuti lagu ‘DoYou Believe In Magic?’ karya The Lovin’ Spoonful. Aku menyukai lagu itu akhir-akhir ini.

“Suaramu bagus kawan!” seseorang berteriak. Aku menengok ke segala arah dan hanya ada tiga motor di sana dan semua pengendaranya melihatku dengan tatapan aneh. Di sebelahku ada sebuah mobil dan semua jendelanya tertutup rapat. Tak mungkin itu berasal dari mereka semua pikirku. Aku bersusah payah untuk tetap berpikir positif.

“Woy, di sini.” katanya, “Di atas sini!”

Aku berusaha keras mengabaikan suara itu. Pandanganku tetap ke depan dan kini aku menghentikan siulanku. Aku berusaha mengatur napasku dan meyakinkan diriku bahwa ini semua hanyalah mimpi. Tapi suara itu tak henti-hentinya terdengar¾rasanya lampu merah ini memakan separuh umurku. Beberapa saat kemudian sebuah kotoran burung menghantam spedometer motorku.

“Rasain.” katanya, dengan nada mengejek.

Aku menengok ke atas dan berniat berteriak kepadanya. Di tiang lampu merah ada dua ekor burung gagak yang tertawa sambil menutup mulut mereka. Burung-burung itu mengejekku tanpa henti. Aku mengumpat ke arahnya dan mereka mengumpat balik. Di saat itu semua orang sudah benar-benar kebingungan melihatku. Lampu sudah berubah hijau dan aku menarik gas meninggalkan kedua gagak bodoh di sana. Aku mengintip melalui spion dan mereka tak mengikutiku.

Aku sampai ke rumah pada pukul enam. Ibu langsung menyambutku dengan ramah.

“Sudah pulang? Cepet sekali.” katanya.

Aku langsung ke dapur tanpa menjawabnya, mengambil segelas air  dan meneguknya. Aku membasuh wajahku di keran dan mulai mengambil wudhu, berharap kejadian barusan hanyalah hal-hal konyol. Ibuku tampak kebingungan melihatku sholat¾aku memang jarang melakukannya.

Keesokan harinya aku menceritakan semuanya kepadanya, ia tampak tak puas  dengan ceritaku dan ia mengajakku  ke kandang ayam. Ayam-ayam itu kali ini memang berkokok saja. ibuku melihatku dengan tatapan sinis. Aku melihatnya dengan tatapan menyedihkan.

“Masih denger?” tanyanya.

“Tadi aku denger.” kataku. “sekarang aku udah gak denger lagi.”

Pada akhirnya ia memutuskan untuk menggantikanku menjaga kios. Aku diminta untuk mencari pasokan merpati di pasar burung. Aku mengiyakannya. Mungkin saja kemarin itu memang mimpi. Aku berusaha untuk tetap berpikir positf.

Pasar burung itu sangat luas, mungkin dua kali lipat pasar tempat kiosku berada. Aku mulai berkeliling. Saat aku menapakkan kaki di pintu depan, pasar itu dipenuhi oleh suara burung yang bernyanyi dan ayam yang berkokok tak henti-henti. Aku mendengar kembali dua ekor gagak kemarin. Mereka menertawaiku dari atas atap. Seketika semua nyanyian burung dan kokokkan ayam berubah menjadi obrolan penuh penderitaan. Aku mendengar ada yang meminta ampun. Ada yang berteriak karena paruhnya telah terpotong separuh. Ada yang menangis karena jenggernya lepas. Ada juga yang mencari keberadaan kerabatnya. Mereka bertanya satu sama lain di mana kerabat mereka berada.

Tiga hari kemudian hal-hal tersebut kembali berulang, aku tak dapat memotong unggas lagi karenanya. Saat aku pulang ibuku sudah menangis dan seisi rumahku berantakan. Para penagih hutang mendatanginya. Aku tak sanggup lagi melalui semua ini. Ini antara keberlangsungan hidupku atau mereka. Di hari keempat aku menuju pasar dan memberanikan diriku untuk kembali memotong ayam. Aku mengambil pisau potongku dan mulai menyembelih mereka, suara teriakan mereka masih memenuhi kepalaku. Aku berharap para pelanggan tak datang lagi agar aku tak perlu memotongnya lagi, namun hari itu pelanggan tak henti-hentinya datang. Semoga saja aku bisa sedikit membayar hutang kami. Tapi jeritan unggas itu selalu menghantuiku.

Pasar sudah sangat sepi dan hanya kiosku yang buka. Beberapa saat kemudian aku ditertawakan oleh dua ekor gagak itu lagi. Mereka bertengger di meja kiosku.  Aku mendekati mereka namun mereka mengancamku. Apa yang bisa dilakukan oleh dua ekor gagak pikirku. Aku menangkap keduanya dan memenggal mereka di talenanku, ancaman mereka akhirnya berhenti.

Aku mulai membereskan kiosku. Seseorang datang menghampiri kiosku, langkahnya pelan dan tenang. “Maaf, saya udah tutup.” Kataku.

Saat berbalik aku melihat orang yang sama seperti hari itu datang kembali. Aku melihatnya dengan tatapan penuh emosi. Karenanya aku dapat mendengar semua penderitaan unggas-unggas ini. Karenanya lah aku mulai bertindak seperti orang sakit jiwa, dan karenanya lah Ibuku sampai menangis. Aku tak tahan lagi, aku mengambil pisauku dan mendekatinya. Tak ada senyuman seperti kemarin, ia terlihat ketakutan setengah mati, tanpa pikir panjang aku menebas kepalanya, dan semua suara unggas tak terdengar lagi. Aku hanya mendengar nyanyian burung atau kokokkan ayam.

Obrolan unggas tak pernah ada lagi. Para penagih utang itu tak pernah muncul lagi. Ibuku hanya menangis dan menangis. Kenapa ia menangis? Aku tak tahu. Seminggu kemudian polisi menghampiri rumahku, menanyakan kemana perginya para penagih hutang itu. “Entahlah” jawabku kepada mereka. “Mungkin di pasar, mungkin di pasar burung, atau mungkin di lampu merah.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top