
Aku sedang memandangi jendela ketika Mino menarik bajuku malam itu. Ia datang dengan sedikit tertatih karena mengantuk. Ia membawa sebuah ensiklopedia binatang dan melemparnya ke lantai, lalu menunjuk seekor kuda nil kemudian melihat ke arahku. Katanya ia bermimpi untuk melihat seekor kuda nil kerdil. Aneh juga mimpinya. Sewaktu kecil, aku dan orang yang kukenal akan bermimpi setinggi langit. Mino justru bermimpi setinggi permukaan air sungai nil. Jadi hari ini aku akan membantunya menggapai mimpi yang cetek itu.
Mino adalah keponakanku. Dari keluarga yang sangat-sangat jauh. Aku bahkan baru mengenalnya kemarin malam, ketika mengantar ibuku berkunjung ke rumahnya. Untuk seorang anak kecil yang mengidap kanker, ia cukup aktif dan periang. Karena itu, aku mau menemaninya ke kebun binatang. Kalau tidak aku tak akan mau menemaninya segala. Karena aku benci anak kecil, mereka bau dan sedikit berisik. Tapi untungnya Mino tidak begitu.
***
Keesokan harinya aku datang ke rumah Mino. Ia berlari ke arahku dengan sepatunya yang berdecit-decit. Menggunakan topi berwarna merah biru dengan sedikit gambar Spiderman yang telah terkelupas.
“Sudah siap?” tanyaku.
Ia mengangguk keras sekali, topinya yang longgar jadi bergoyang dan hampir jatuh.
“Mbak nggak ikut?” tanyaku pada ibunya. Katanya ia tak begitu suka dengan kebun binatang. Meski berkata demikian, aku tahu betul alasan sebenarnya adalah karena ia tak memiliki cukup uang. Tapi aku tetap tersenyum dan mengangguk, begitu juga ibunya yang tersenyum.
“Salim dulu ke mamanya,” ucapku pada Mino. Mino berlari lagi ke arah ibunya, dengan sepatu yang tetap berdecit dan topi yang bergerak ke sana-sini.
“Hati-hati!” teriak ibunya ketika aku dan Mino hendak berangkat. Tangannya melambai-lambai sampai kami benar-benar tak melihat dirinya.
Kami menggunakan taksi. Sepanjang jalan matanya menerawang ke luar. Mengamati gedung-gedung tinggi yang sangat kontras dari lingkungan tempat tinggalnya. Aku tak dapat mengamati ekspresinya, karena wajahnya tertutupi oleh topi Spiderman yang kebesaran itu.
Aku meminta si sopir taksi untuk berhenti di sebuah toko topi. Si sopir hanya mengangguk tanpa menoleh dan selayaknya sopir profesional, ia menepi dengan lembut.
“Tunggu sebentar Pak,” ucapku pada si sopir, ia mengangguk lagi. “Ayo Mino… ikut kakak sebentar.”
Dengan polos ia melihat ke arahku. Wajahnya sedikit khawatir. “Kebun binatang,” katanya.
“Nanti kita ke kebun binatang, sekarang kita beli topi dulu.”
“Aku punya topi.” Ia menggapai topinya.
“Topinya kebesaran, kita beli yang pas, oke?”
Tangannya yang mungil mengepal ketika menggenggam erat topi itu. Lama ia tak mau keluar, si sopir berdeham dan argo taksi berjalan ngebut.
“Kakak pinjem topinya Mino, nanti Mino pakai topi yang kakak belikan, habis itu kita ke kebun binatang deh, oke?”
Tanpa berpikir ia pun mengangguk. Ia ngesot keluar karena kakinya tak sampai di dasar. Sesampainya di luar, aku mengambil tangan mungilnya. Aku perlu sedikit menunduk dan ia perlu sedikit berjinjit agar tangan kami bisa sepantaran.
Toko topi itu terlalu sepi untuk dikatakan sebagai sebuah toko topi. Barang-barangnya juga berjarak. Aku mengelilinginya sebentar dan Mino tampaknya senang-senang saja.
Topi yang seukuran anak kecil hanya sedikit, variasinya pun agak ngawur. Cuma dua pola. Satu gambar barbie, satu berlogo daun ganja dengan tiga warna menyilang—aku tak mungkin membelikannya topi barbie, aku juga tak mungkin membelikannya topi berlogo ganja.
Si pemilik toko datang ke arah kami. “Ada yang bisa saya bantu Pak?”
“Topi anak,” tuturku.
“Ini cocok untuk anaknya.” Ia mengambil yang daun ganja tadi.
“Jangan yang itu, gak ada yang lain?”
“Gak ada…” katanya pelan. Matanya lesu juga seakan tahu kalau dagangannya tak akan dibeli. Aku pun tenggelam dalam lamunan.
Tiba-tiba Mino menarik tanganku. Ia berjalan ke ujung toko dan memandangi sesuatu di pojokan. Aku melihat ke arah sesuatu itu. Wajah si penjaga toko kembali sumringah.
Mino memandangi sebuah ushanka, topi musim dingin ala soviet dengan bulu tebal di pipi kiri dan kanannya. Harganya pasti mahal.
“Mau itu?” tanyaku.
Mino tak menjawab, ia menunduk sambil melihat kedua kakinya. Sepatunya yang berdecit itu ia gerak-gerakkan seperti seorang pria tua yang mematikan rokoknya.
Pada akhirnya aku membelikannya topi itu.
***
Setelah membayar, kami bergegas kembali ke taksi. Ia memanjat pintu taksi dan berjalan kecil ke ujung. Kemudian matanya kembali memandang keluar. Ia menggerak-gerakkan kakinya yang bergelantungan.
Aku ikut masuk dan meminta sopir untuk lanjut. Ia bertanya apakah ingin singgah lagi? Aku jawab tidak.
“Anaknya, Mas?” tanya si sopir. Entah kenapa ia tiba-tiba menaruh minatnya pada Mino.
“Bukan, dia keponakan saya,” kataku.
“Oalah, saya kira anaknya, soalnya agak mirip.”
“Emang iya pak?”
Si sopir mengangguk.
“Agak mirip ya,” aku bergumam.
Aku melihat wajah Mino dan membandingkannya dengan wajahku dari cermin depan. Hidung kami memang sama-sama mancung, tapi selebihnya tidak ada kemiripan. Mungkin mata si sopir agak rabun. Atau mungkin ada semacam lapisan khusus yang tak bisa kulihat. Lapisan tipis dan bening yang membuat kami berdua memiliki kesamaan. Dan hanya bisa dilihat oleh seseorang yang teramat asing bagi kami.
Mino masih melihat ke luar. Matanya hampir tak berkedip. Sesekali ia menarik napas seperti terkejut ketika ia melihat badut atau manusia bercat perak di jalanan. Sesekali ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Entah kenapa aku ikut senang melihatnya.
Ketika berhenti untuk menunggui lampu merah, si sopir berkata pada Mino kalau kami akan sampai di tujuan. Mino turun dari kursinya dan berpegangan di kursi si sopir, sambil mengintip melalui celah sempit di tengah.
“Mana?” katanya.
“Sebentar lagi…” kata si sopir.
ia menanyakan pertanyaan yang sama setiap 5 detik sekali dan si sopir tetap menjawab sambil menahan tawanya. Selang beberapa saat, si sopir kembali berucap, “Sekarang, baru sudah sampai!” Mino terperangah melihat gerbang masuk kebun binatang.
Selepas membayar kami berdua pun turun. Ia melambai-lambai ke arah si sopir selayaknya kenalan lama. Si sopir tersenyum sambil melambai kembali seperti kenalan lama juga.
***
Kebun binatang cukup sepi siang itu, mungkin karena bukan hari libur. Aku menggandeng tangannya dan kami berdua berjalan masuk. Orang-orang yang berpapasan dengan kami seringkali melihat ke arah Mino dengan gemas. Sesekali ada yang berhenti menyapa dirinya tetapi Mino bersembunyi di balik celanaku.
Kami berjalan melewati kandang burung. Mereka terbang mendekat seperti hendak menyapa dan menyemangati Mino. Tapi Mino tak peduli, ia tetap berjalan lurus.
“Kuda nil,” katanya.
“Sebentar lagi,” jawabku.
Di pertengahan jalan ia terhenti. Ia memandangi sebuah booth es krim dengan badut yang menari di sebelahnya. Ia menelan liur dan kembali berjalan.
“Mau es krim?” tanyaku.
Ia bergeleng sambil terus berjalan. “Mama bilang gaboleh…”
“Gaboleh makan es krim?”
Ia bergeleng lagi. “Gaboleh minta ke Om.”
Aku berhenti melangkah. Mino juga berhenti, ia menatapku bingung.
“Om pengen es krim,” kataku. Aku pun menggendongnya ke booth es krim itu.
Seorang perempuan muda sedang berjaga di booth es krim. Ia melihat ke arah Mino tapi Mino menyembunyikan wajahnya. Ia menyapa Mino tapi Mino tak mau menjawab.
“Mino mau yang mana?” tanyaku.
Ia tak bersuara atau bergerak. Rasanya ia mengepalkan tangannya dan menyembunyikan tangan itu dibalik tubuhnya. Matanya pun ia alihkan ke tempat lain.
Aku meminta satu mangkuk es krim vanila. Vanila adalah rasa yang netral setidaknya bagiku. Tidak terlalu pahit seperti coklat. Pun tidak terlalu manis seperti stroberi. Paling tidak, ada peluang ia menyukai rasa ini.
Aku duduk dengannya di sebuah meja dengan payung peneduh. Aku memberinya sebuah sendok, tapi ia enggan mengambilnya.
“Es krimnya kebanyakan, Om gak kuat habisin,” kataku memancingnya.
Ia melihat ke arahku tapi belum menerima sendoknya.
“Kalau es krim ini lama habisnya, nanti kita gabisa ke kandang kuda nil.”
Mendengar kata kuda nil ia melepas kepalan tangannya, meraih sendok kayu dengan jemarinya yang mungil dan diam melihatku. Mungkin ia menungguiku menyuap lebih dulu, aku pun menyuap lebih dulu. Ia akhirnya ikut menyuap.
Di suapan ketiga aku berhenti tapi ia tetap lanjut, kelihatannya sangat bersemangat. Aku tak tahu apakah ia menyukai es krim itu atau sangat ingin melihat kuda nil kecil. Tak penting juga sih.
“Enak?” tanyaku.
Ia mengangguk, kali ini topinya tak longgar. Di pipinya dan di ujung hidungnya menempel sisa-sisa es krim, membentuk kumpulan pulau berwarna putih susu.
***
Selepas makan es krim kami kembali berjalan. Kami berjalan cukup jauh dan di pertengahan ia mulai mengantuk. Matanya sesekali terpejam dan sesekali terbuka lebar karena ia memaksa terjaga. Aku menggendongnya tanpa bertanya, karena kalau ditanya… paling-paling Mino akan bergeleng. Ia memeluk leherku dan kepalanya mencuat dari balik pundakku.
Selama hidupku yang tak bisa dikatakan indah ini, aku tak pernah bertemu dengan seseorang dengan mimpi sesederhana Mino. Dan aku tak pernah melihat orang lain yang lebih bergairah dengan mimpinya seperti Mino. Mungkin ia tak mampu menggapai mimpi itu seorang diri. Mungkin, oleh sebab itu lah aku hadir di sini. Membantunya melangkah mendekati mimpinya yang sederhana.
Saat matahari betul-betul terik kami sampai di kandang kuda nil. Mino langsung membuka matanya ketika langkahku terhenti, seperti tahu bahwa mimpinya telah memanggil-manggil dirinya.
Ia menggeliat heboh di punggungku seperti seekor ulat yang berhasil menembus kulit nangka yang tebal. Aku menunduk dan menurunkannya. Ia berlari ke tepi kandang kuda nil kerdil dan memeluk sebuah tiang sambil melompat-lompat kecil.
Suara sepatunya yang berisik memancing kuda nil kerdil yang masih bayi untuk mendekat. Tubuh hewan itu berlendir dan mengkilap (aku heran kenapa ia menyukai hewan ini). Bayi kuda nil kerdil itu berlari mendekat dan mencuat dari balik pagar. Mino menyodorkan tangannya dan si bayi kuda nil kerdil hendak menyentuhkan kepalanya ke tangan Mino. Tiba-tiba seseorang meneriaki kami dari kejauhan.
“Hey, jangan disentuh!”
Mino terkejut dan berlari ke arahku, memeluk betisku erat-erat seperti seseorang yang berlindung dari terpaan angin topan. Orang yang meneriakinya mungkin seorang zoo keeper lantaran pakaiannya yang agak terlalu ‘liar’ dan sedikit aneh. Ia berjalan ke arah kami dengan langkah yang tegas. Setiap ia melangkah suara pijakan sepatu bootnya membuat Mino tersentak.
“Pak, dilarang menyentuh satwa di dalam kandang!” katanya tegas.
“Maaf, keponakan saya gak tahu.” Aku berasalan sekenanya.
“Seharusnya Bapak membaca papan peringatan.” Pelukan Mino semakin erat di betisku.
“Maafkan saya kalau begitu…” balasku, “Tapi, bolehkah sekali saja izinkan dia menyentuh, saya yakin tak akan menyebabkan hal buruk.” Mino mengintip dan kembali bersembunyi. “Dia sedikit malu kalau sama orang asing,” timpalku.
“Hmmh.” Si zoo keeper berdeham. “Masalahnya peraturan di sini melarangnya.” Ia kelihatan ragu, namun berlalu begitu saja. Meski aku yakin ada sedikit keraguan di dalam dirinya, entah kenapa ia tetap tak mengizinkan Mino menyentuh kuda nil kerdil itu.
Aku pun mencoba menarik tangannya, ia pun menoleh ke arahku dengan tatapan sedikit kesal. “Maaf sebelumnya, hanya saja ini adalah mimpi terakhir keponakan saya… besok dia akan melakukan pengobatan dan tak akan sempat bertemu dengan kuda nil kerdil lagi…”
Mino hanya mengintip dari balik kakiku, melihat ke arah zoo keeper itu dengan polos.
Si zoo keeper menunjukkan raut prihatin, tetapi selayaknya seorang yang menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, ia meminta maaf dan tetap tak mengizinkan dan berkata kalau kami melanggar, kami bisa di-black list. Kemudian ia berlalu. Hanya saja, kali ini tak kutahan lagi.
“Gapapa, Mino,” ucapku. “Kita lihat lagi kuda nilnya ya?”
Mino tak menjawabku, nampaknya sedikit sedih. Ia mengusap matanya dan mengangguk pelan. Aku membawanya lagi ke tepi kandang. Kami berdiri menatap kuda nil yang berlalu lalang. Mino tertawa saja sedari tadi, tapi dari sorot matanya aku tahu, ia ingin sekali menyentuh bayi kuda nil kerdil di sana.
“Kenapa Mino suka kuda nil?” tanyaku.
“Karena lucu,” katanya. Ia menunjuk seekor bayi kuda nil kerdil dan melihat ke arahku, seolah memastikan apa yang dilihatnya itu adalah sebuah kenyataan. Aku mengangguk.
“Kalau Mino mau, kita bisa sentuh terus kabur berdua,” ujarku.
“Gak boleh,” katanya.
Entah kenapa di siang yang hening ini, mataku terasa perih. Dadaku sedikit sesak. Sepanjang siang itu kami mengamati setiap gerak-gerik kuda nil. Dan, setiap bayi kuda nil lewat, Mino akan menunjuk dan tertawa.
Aku tak tahu sudah seberapa hitam kulit kami, tapi untuk menemaninya aku akan berdiri terus di sini.
Hari sudah hampir sore dan kebun binatang sebentar lagi akan tutup. Hari ini adalah hari terakhir Mino bisa bebas begini, karena besok ia harus memulai program pengobatannya.
Aku tak tahu apakah ia akan selamat atau tidak, mengingat penyakitnya yang parah. Aku tak tahu apakah kami akan bertemu lagi di lain waktu, tentu karena penyakitnya yang parah.
Yang kutahu, apapun yang terjadi, aku akan menyesali hari ini. Dan bila tak membantunya menggapai mimpi, aku sanksi bisa membantunya di lain kali.
Jadi….
“Persetan,” gumamku.
Aku menggendong Mino lebih tinggi dan mengambil ancang-ancang, kemudian berlari kencang untuk melompat ke dalam kandang itu.
Dan dalam hidupku yang tak bisa dikatakan indah ini, baru kali ini aku bisa merasa hidup.
Catatan: Saya menulis cerpen ini setelah melihat salah seorang anak pengidap kanker yang ngefans sama Moodeng (pembaca pasti tahu). Dan sayangnya, menurut kabar, anak itu sudah meninggal setelah bertemu dengan Moodeng. Kenapa saya repot-repot menulis cerpen segala ya? Entahlah…
