“Sudah kubilang berkali-kali, aku ini menderita skizofrenia,” ucap Sang Bocah Lelaki. Ia berjalan lebih cepat dariku.
“Tunggu sebentar, capek,” kataku, ia berhenti dan berjalan kembali ke arahku yang tengah menunduk mengumpulkan napas.
“Kamu harusnya jalan lebih cepet kalau nggak nanti aku tinggal, di sini banyak hantunya.”
Suasana di sekitar memang agak sepi, aku bilang ‘agak’ karena masih ada suara angin, suara burung berterbangan mengepakkan sayapnya, suara ranting yang bergesekkan dan beberapa kali suara katak bersahut-sahutan. Kalau suara manusia, mungkin cuma suara kami berdua.
“Kamu tau nggak, aku kadang ngeliat rusa lari pake kaki belakangnya aja di sekitar sini.”
“Serius?”
“Sungguh…” ia melihat langit dan kembali melihat ke arahku. “Sudah selesai? Kalau kemaleman kita bisa-bisa kejebak di sini, aku nggak tau gimana cara liat jalan di malam hari.”
“Sebentar lagi,” balasku. “Oh iya, kamu bilang kamu punya skizofrenia tapi kamu cuma liat hal-hal aneh di sekitar sini?”
“Itulah yang kubilang dari tadi.”
“Okay,” aku menengadah ke langit lalu menghembuskan napas dengan keras. Awan telah berkumpul tepat di atas kami, matahari sedikit tertutupi, kami dapat berjalan lebih nyaman karenanya, tetapi suasana sekitar semakin suram. Kegelapan memakan semua kehidupan hutan ini.
Ia menyadari bahwa aku telah selesai beristirahat, kemudian lanjut melangkahkan kakinya. “Kalau kamu haus, kamu bisa minum di rumahku.”
Kami lanjut berjalan dengan agak cepat, tumpukan dedaunan dan rumput liar memenuhi jalan setapak ini. Suara pijakan kami terdengar jelas karenanya. Beberapa kali aku hampir terjatuh karena jalan setapak itu ditumbuhi lumut. Bebatuannya yang bundar juga terlihat sangat mengkilap, mungkin karena baru saja selesai hujan.
“Kamu tinggal sendirian?” tanyaku.
“Iyap, aku cuma ditemani bayang-bayang anjing gila yang bergelantungan di langit-langit rumahku.”
“Itu sedikit menyeramkan.” Kataku.
“Kalau kamu liat itu tiap hari, kamu gak bakal ketakutan, ia cukup ramah dan memiliki banyak sekali kata-kata lucu ketika aku sedang gundah, ia seperti kamus kata-kata lucu yang bisa bergelantungan dan mengikutiku ke mana pun pergiku di rumah itu.”
“Entah kenapa deskripsimu membuatku lebih takut lagi.”
“Tch kamu terlalu penakut,” katanya.
Anak ini cukup blak-blakkan. Aku bertemu dengannya tadi pagi. Ia mengemis kiri kanan meminta sepotong roti atau apa pun yang bisa dimakannya. Karena aku tak tega melihatnya jadi aku menawarkannya makan dan tumpangan untuk pulang.
“Aku sebenarnya cukup bimbang.”
“Bimbang kenapa?”
“Aku tak tahu anjing itu ibuku atau bukan karena dalam mimpiku aku melihat ibuku di makan olehnya tapi seperti yang kamu tau, aku mengidap skizo.”
“Sebentar lagi kita akan lihat bersama-sama.”
Awan yang tadi semakin berkumpul di atas kami, membentuk suatu kesatuan yang sangat besar menutupi seluruh langit. Kegelapan ini berlangsung cukup lama, ditambah kami memasuki daerah padat pepohonan membuat suasana menjadi lebih gelap.
“Di sini aku sering ketemu burung hantu yang bisa makan rusa.”
“Bisa makan rusa?” ulangku.
“Iya, benar … tubuhnya sebesar ini,” ia menunjuk sebuah pohon raksasa yang sudah ditebang, hanya tersisa bonggolnya saja. mungkin butuh dua orang sepertiku untuk memeluknya penuh. “Ia sering mendatangi kami, semalam sang anjing gila terluka cukup parah, tapi biasanya ia akan pulih dengan sendirinya.”
“Terluka kenapa?”
“Menghalau burung hantu itu,” jawabnya. Ia menunjuk ke atas pohon ketapang tua, benar di sana ada seekor burung hantu berwarna putih, burung hantu normal.
“Ukurannya sangat kecil.”
“Jangan melihatnya terlalu lama kalau tidak mau dikejar.”
“Okay.”
Kami berjalan selama beberapa menit, hujan turun namun karena tajuk pepohonan yang rapat kami jadi terlindungi. Sesekali tetesan hujan berkumpul dan menciptakan tetesan yang lebih besar menghantamku, tetapi tetesan itu tak begitu berarti, mengingat kami berdua telah menggunakan ponco.
“Bagaimana mobilku?” tanyaku, “Kita sudah jalan sejauh ini.”
“Aman kok,” katanya, “Tak ada orang yang berani memasuki hutan ini.”
Ia diam sejenak seperti memikirkan sesuatu.
“Terakhir kali ada dua orang pencuri datang ke rumahku, sang anjing gila membereskan mereka semua.”
“Ceritamu semakin lama semakin seram.”
“Kalau gitu aku gak akan cerita lagi.”
Langkah kami terhenti di sebuah gerbang besar yang menjadi pembatas antara hutan yang sangat padat dengan halaman rumahnya yang terbuka. Kami membukanya perlahan dan suara engsel karat menggema di seluruh hutan. Decitannya nyaring, telingaku sedikit sakit dibuatnya. Ia melihatku sebentar seperti ingin bertanya mengenai keputusanku, apakah aku yakin ingin mengikutinya pulang atau tidak.
“Gimana?” tanyanya.
“Gak seserem yang kamu bilang,” kataku.
“Okelah.”
Ia berjalan mendahuluiku memasuki halamannya. Aku mengukutinya dengan pelan. Jalan setapak tadi kini tak begitu licin. Rintikkan hujan masih membasahi kami dan rasanya jauh lebih dingin dari sebelumnya.
“Kamu tau kenapa disekitar rumahku gak ada pohonnya?”
“Gak tau…”
“Biar nyamuk gak bisa masuk ke dalam, oh iya aku melihat nyamuk sebesar ini,” ia memegang pangkal pahanya.
“Besar banget.”
“Iya, aku kan punya skizo, kamu gimana sih?”
Kalau ia bukan anak-anak mungkin sudah kupukul dari tadi.
“Kita sudah sampai.” Katanya setelah kami mencapai depan pintu rumah. “Bersiap-siaplah,” ia membuka pintu itu perlahan dan menampakkan seisi rumah yang gelap dan reot.
Kami berjalan memasukinya dan aroma tak berpenghuni segera menghantam hidungku. Debu-debu berterbangan dan jaring laba-laba berkumpul di sana sini. Aku mengikutinya masuk lebih dalam.
“Tunggu sebentar aku ambil lilin,” katanya.
“Okay.”
Ia berjalan ke arah kegelapan dan segera menghilang. mataku mengamati sekitar dan semakin ku amati ada perasaan janggal di hatiku, seperti apakah keputusanku ini benar atau tidak. Jendelan rumah ini sangat buram tapi ada satu titik yang masih bening, mungkin bocah itu menggunakannya sebagai tempat mengintip.
“Halo,” sapanya sambil berjalan ke arahku membawa dua batang lilin dan sebuah pemantik.
“Bagaimana caramu melihat di kegelapan itu?”
“Kalau kau sudah terbiasa hidup di kegelapan, kau akan tahu.”
Kami menyalakan dua buah lilin itu dan meletakkannya di atas lantai. Ia menyuruhku duduk dan kami akhirnya duduk melingkari lilin itu.
“Sudah berapa lama kau di sini?”
“Empat bulan…”
“Cukup lama,” kataku.
“Begitulah … aku sering bermimpi mengenai asal-usulku kemari.”
“Hmm?” aku melihatnya dengan penuh keheranan.
“Aku bermimpi kami berlari dari kejaran penjahat dan berakhir di sini, ibuku dan aku,” ia diam sejenak lalu melihat keluar. “Ia meyakinkanku bahwa ia adalah ibuku, kau tahu? Anjing gila itu. Tapi aku tak pernah yakin mengenai itu, itulah sebabnya aku meminta pertolongan di kota, meminta orang lain untuk melihatnya. Aku sendiri pun tidak yakin memiliki skizo tapi anjing itu selalu meyakinkaku.”
“Ceritamu sedikit masuk akal sekarang.” aku menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam. “Jadi di mana anjing itu?” tanyaku.
“Kamu tahu, anjing itu ada di belakangmu, sedari tadi melihatmu. Siap menerkam seperti yang dilakukannya pada ibuku dan dua penjahat yang mengejarku.”
***