Tepat 6 hari yang lalu—saat saya sedang berselancar di instagram—saya menemukan sebuah postingan dari salah satu penulis yang sedang naik daun. Dalam postingannya ia mengatakan sedang mencari beberapa proofreader untuk novel terbarunya yang akan terbit akhir tahun ini. Tanpa ba bi bu saya langsung mengirim email dan menyertakan persyaratan yang dibutuhkan. Karena menurut saya, kemampuan untuk mengkritik sangat diperlukan, agar bisa saya terapkan pada novel yang sedang saya revisi.
Singkat cerita saya terpilih. Oh beruntung sekali diri saya, pikir saya waktu itu. Ternyata keberuntungan saya belum berhenti sampai di sana, saya adalah salah satu di antara beberapa orang yang mendapatkan naskah 100% yang artinya naskah tersebut adalah naskah utuhnya.
Sebenarnya saya betul-betul buta akan kegiatan ini, menjadi proofreader. Sungguh. Mentok-mentok saya hanya pernah mengeroyok naskah saya sendiri. Melihat kesempatan ini, akhirnya saya terpikir untuk mengeroyok naskah beliau. Betul. Saya benar-benar berniat untuk memukuli naskah itu sampai terjatuh, kemudian saya akan membiarkannya berdiri sesaat lalu memukulnya lagi sampai terjatuh lagi. Awalnya saya mengira kesempatan untuk memukulinya tidak akan pernah datang karena naskah itu berasal dari penulis terkenal. Ternyata tidak. Kesempatan itu betul-betul datang.
Sekarang naskah itu sudah ada di hadapan saya. Di hari pertama saya membacanya sampai halaman 90. Betul-betul saya baca tanpa henti. Setiap saya menemukan satu atau dua hal yang mengganjal atau membuat saya memiringkan kepala saat dibaca berulang-ulang, saya langsung mencatatnya, saya langsung menanggapinya saat itu juga sebelum beranjak ke bab lain. Lucu juga kalau dijadikan video reaction.
Total 12 jam saya habiskan untuk membaca naskah itu dengan sedikit ketelitian (Saya memang bukan pembaca cepat). Ternyata lelah juga. Terpikir oleh saya bagaimana para editor itu bekerja di hadapan layar komputernya dan membaca naskah-naskah dengan betul-betul-betul teliti, pasti sangat melelahkan. Sulit juga ya jadi editor.
Sesuai instruksi dari si penulis tadi, saya hanya fokus pada 4 hal, yaitu: cerita, tokoh, perjalanan, konflik. Dari keempat hal tadi saya pecah lagi menjadi beberapa bagian (Sesuai saran Mocha—nama ai chatgpt saya). Cerita meliputi alur, tema, logika. Tokoh meliputi kedalaman karakter, konsistensi, perkembangan. Perjalanan meliputi dinamika emosi dan perubahan dari awal hingga akhir. Konflik meliputi apa saja taruhannya, cukup mendesak atau tidak?
Lelah sekali. Hari pertama saya langsung tepar dan tertidur sampai hampir terlewat waktu sholat subuh. Mata saya berkunang-kunang. Kepala saya sedikit sakit. Hari kedua saya seperti mayat hidup yang diikat di kursi dan dipaksa menyaksikan sesuatu yang menguras energi. Sebenarnya naskah itu betul-betul bagus, saya menikmati setiap kalimat bahkan setiap katanya. Tetapi lagi-lagi, sesuatu yang dipaksakan apalagi sampai berlebihan betul-betul akan membunuhmu. Untungnya semuanya rampung di hari kedua. Kalau ada hari ketiga mungkin saya betul-betul mati.
Ada beberapa bagian yang membuat saya tertawa, ada beberapa bagian yang membuat saya terenyuh, tapi ada banyak bagian yang membuat saya terkagum-kagum. Ternyata seperti ini naskah penulis profesional yang belum disentuh editor. Kagum saya adalah bukan semata-mata kepada hal yang bagus saja. Tetapi terhadap kekurangan dari naskah itu. kekurangan yang ada di sana kurang lebih sama seperti yang saya alami di naskah saya.
Membacanya berulang kali membuat saya semakin dekat dengannya, tulisan seperti inilah yang saya hadapi ketika saya merevisi draft demi draft novel saya. Tulisan seperti inilah yang dihasilkan oleh para penulis profesional. Tulisan yang sebetulnya memiliki kekurangan, dan memiliki kekurangan adalah hal yang sangat wajar.
Mungkin kritikan saya tidak membantu sang penulis sama sekali, mungkin membantu hanya sedikit. Tapi yang jelas, saya sangat terbantu akan kegiatan ini dan apabila ada kesempatan lagi, saya akan terus melakukannya lagi dan lagi dan lagi walau saya menjadi seorang mayat hidup. Sampai saya benar-benar bisa memetik pembelajaran dari kegiatan-kegiatan ini.
Sekarang saya tahu, menjadi proofreader bukan semata-mata mengeroyok naskah penulis tersebut tetapi lebih seperti menyatu dengannya. Seperti menggenjreng kunci gitar yang sama di fret yang berbeda, beresonansi sedemikian rupa. Bukan tentang mencari kesalahan, tapi tentang menemukan celah untuk bertumbuh—bersama naskah, bersama penulisnya, dan bersama diri sendiri.