
Aku. Hidup 24 tahun dan sudah kehilangan gairah terhadap perempuan. Kalau ditanya apa alasannya aku bisa seperti ini, rasanya tak ada jawaban konkret yang bisa kuberikan. Jawaban semacam satu tambah satu sama dengan dua tak mungkin ada dalam kasus yang bersangkut paut dengan perasaan. Tentu jawaban konkret semacam itu rasanya tak mungkin eksis di dunia ini, apalagi yang berhubungan dengan perasaan manusia atau semacamnya.
Tapi ada satu kisah yang kurasa bisa dijadikan sebuah alasan pelarian. Kisah tentang perempuan yang kutemui ketika umurku baru 21 tahun. Tak bisa kusebutkan nama perempuan itu karena kalau kusebutkan maka takutnya ia akan datang dan menamparku dengan tas jinjingnya. Maka, untuk menghormatinya dan menghargai pipiku, kusebut saja namanya sebagai Maria.
Maria adalah seorang perempuan yang umurnya dua tahun di bawahku. Kami bertemu di awal tahun dan mulai dekat di pertengahan tahun. Kedekatan kami terjadi secara alami dan tak buru-buru sama sekali. Ia bukanlah tipe wanita yang bisa dikategorikan menawan, wajahnya tak bisa dikatakan 100% cantik, dan kalau ada yang mengatakannya jelek pun bisa kupastikan bahwa aku tak akan mendebat pendapat itu.
Untuk seorang yang tak bisa dikatakan cantik, maria bertingkah laku sangat feminim dan berkebalikan dengan penampilannya. Maksudku, aku tak mengatakan bahwa perilaku seperti itu salah, tetapi hanya aneh saja memandangnya demikian. Ibarat melihat kura-kura yang berjalan jauh lebih cepat dari kura-kura pada umumnya. tentu faktanya kura-kura pun ada yang berjalan dengan cepat, tetapi tak seumum dengan yang berjalan lambat. Ada semacam variasi tak seimbang di situ, kira-kira seperti itulah pandanganku terhadap Maria bila dibandingkan dengan perempuan jelek lainnya.
Maria memiliki tubuh yang tak bisa kukatakan indah juga, lantaran tubuhnya terlalu kurus. Aku bisa melihat tulang rusuknya tercetak jelas bila ia sedang memamerkan tubuhnya padaku. Rasanya apapun yang ia lakukan terlihat tidak normal. Ketika ia membungkuk memunguti pakaiannya terlihat jelas cetakan tulang punggungnya yang berbuku-buku selayaknya tulang yang menonjol ketika kita mengepalkan tangan.
Tapi meski begitu, bukan berarti Maria tak memiliki sisi baik dan indahnya tersendiri.
Maria memiliki suara yang khas yang tak bisa kutemukan pada wanita lainnya. Suaranya melantun indah dan bersatu padu dengan sekitar kami ketika ia sedang bertutur ataupun bernyanyi. seperti jangkrik di malam hari, seperti burung yang bersiul ketika hujan akan tiba. Pendapat bahwa ia memiliki suara yang indah pun tak cuma berasal dari diriku seorang. Ia sering mengikuti pentas dan menjuarai berbagai pentas tersebut, tak jarang ia diundang untuk bernyanyi di acara-acara yang kurasa cukup besar, namun karirnya itu hanya sebatas itu. tak lebih dari seorang penyanyi yang bernyanyi untuk memenuhi hasratnya seorang diri.
“Kenapa tidak mengikuti ajang pencarian bakat atau menulis lagu dan merekamnya saja?” tanyaku ketika kami sedang berbaring di kasur.
“Tidak ingin saja,” ujarnya. Kemudian ia diam cukup lama sebelum akhirnya bertutur kembali. “Aku menulis lagu kok, hanya saja tak kurekam demi privasi.”
“Privasi apa?” tanyaku dengan air muka berlagak bingung.
“Hish… aku tak nyaman untuk menceritakannya.” Ucapnya lirih, ia kemudian berbalik arah memandang dinding, meninggalkanku menatap tulang punggungnya yang tercetak.
Maka aku tak menanyakan apapun terkait privasi itu, karena kupikir namanya juga privasi, buat apa ia bercerita tentang privasinya segala. Tetapi selayaknya orang yang penasaran, aku tetap mencoba memancingnya dengan sedikit menyenggol saja. Tak kukatakan dengan lantang bahwa aku masih penasaran. Tapi, seperti seorang perempuan yang telah melalui berbagai hal buruk, ia dapat mengetahui maksudku melalui endusan hidung peseknya.
“Kalau memang ingin tahu sekali, katakan saja…” ujarnya. Dengan demikian aku hanya mengangguk dan ia mulai bercerita panjang lebar.
Bibir tipisnya mulai bergerak pelan, meski ia menyampaikan dengan senyuman tetapi matanya seperti menyembunyikan hal lain. Sesuatu yang mungkin lebih dari privasi itu sendiri. Maka tak kuperhatikan gerak bibirnya, mataku sibuk menatap matanya. Aku pun menyadari bahwa ia memiliki mata yang cukup memikat. Dan ketika sedang bercerita, mata indahnya itu sedikit dibasahi air mata.
Ia memulai dengan berkata, “aku ini tak lebih dari perempuan kedua dari semua pria yang pernah dekat denganku.”
Otak bodohku tak mampu mengendus arti dari perkataannya, maka aku bertanya apa maksudnya.
“Maksudku adalah selama ini aku hanya mendekati pria yang memiliki wanita, memacarinya rasanya tak begitu sulit. Tak seperti memacari para pria lajang yang berkeliaran di luaran sana.”
Dan otak bodohku kembali dibuat bingung, namun kali ini aku tak menanyakan apapun demi menjaga obrolan ini, soalnya untuk seorang perempuan berparas tidak cantik, ia memiliki emosi yang tidak stabil. Bila emosi itu datang dia akan bungkam, meski sebelumnya kami tertawa sampai terpingkal.
Sambil memainkan jemarinya di lenganku, ia berkata, “Pria lajang itu rata-rata tak tahu diri, tak mengerti apapun tentang cinta. Mereka hanya menginginkan sesuatu yang diinginkan oleh banyak orang sedangkan yang tak diinginkan sepertiku hanya mengering di sudut ruangan.” Dan tanpa kusadari, air mata yang menggenang di matanya telah menetes.
“Begitu ya?” ucapku berupaya untuk terlihat menaruh simpati padanya. Tapi yang dikatakannya malam itu pun tak bisa kupastikan benar tidaknya. Soalnya aku sendiri pun tak pernah menginginkan sesuatu yang diinginkan banyak orang. Tapi sebetulnya kata tak pernah menginginkan juga tak tepat, mungkin lebih tepatnya aku tak pernah mengejar sesuatu yang diinginkan oleh kebanyakan orang. menurutku, sesuatu yang diminati akan sulit digapai. Sama halnya dengan sesuatu yang jarang diminati, tak akan ada persaingan untuk menggapainya.
Ia tertidur dengan sendirinya dan keesokan harinya bertingkah seperti biasa, seakan semua hal yang ia tumpahkan malam itu tak ada artinya. Perempuan yang bernama Maria pun kembali ceria.
Suatu ketika saat kami sedang menonton series di televisi, ia tenggelam di senderan sofa dan menatap langit-langit ruangan seperti hendak menggapai sebuah ilham yang entah diberikan oleh siapa, kemudian ia menghela napas panjang. Sekonyong-konyong pun ia berkata, “Aku ingin menulis lagu untukmu.”
Aku yang sedang menaruh perhatian pada acara televisi tak dapat menangkap suatu arti dari ucapannya itu. Maka aku hanya menjawab “Okay.” Dan ia memandangku sinis. Keesokan harinya ia tak dapat kuhubungi. Memang ada hari di mana ia benar-benar menghilang, seperti seekor beruang yang berhibernasi dalam waktu tertentu. Ia pun melakukan hal yang sama, dalam satu bulan ada masanya ia tak dapat kuhubungi sama sekali entah itu sehari atau dua hari. Maka kupikir itu adalah hari-hari hibernasinya. Hanya saja hari itu datang sebagaimana urutan yang tak jelas, namun entah mengapa di urutan hari hibernasinya saat itu, aku bisa merasakan pola yang tidak mengenakkan.
Untuk menghibur diriku sendiri, aku pun menyambangi sebuah kedai kopi. Duduk diam memandangi orang yang berlalu lalang di hari minggu pagi melakukan kegiatan romantis atau apapun itu. Pokoknya demi perasaanku sendiri, aku hanya diam memandangi jalanan yang semakin lama semakin ramai.
Karena kunjunganku ke kedai kopi ini tak kurencanakan sama sekali, jadi aku tak membawa buku atau apapun yang bisa kujadikan sebagai hiburan sementara, satu-satunya hiburanku sedang menghibur dirinya sendiri. Dengan begitu, paginya hanya kuhabiskan mengamati langkah kaki tak tentu. Dan di siang hari dan malam hari aku hanya duduk di kasurku sembari melempar bola kasti ke tembok.
Dua hari kemudian ia menghubungiku, katanya waktu itu ia ada urusan mendadak yang tak bisa ditunda, dan karena urusan tersebut waktu hibernasinya jadi terganggu. Ia hanya mengomel dan mengomel di ujung telepon, tetapi karena suaranya yang indah pula aku tak keberatan sama sekali mendengar omelannya. Rasanya aku ingin terus berada di situasi itu.
Aku teringat ketika sedang memandangi dirinya yang tertidur lelap, ia sekonyong-konyong terbangun dan berjalan tanpa busana menuju sebuah piano yang terletak di ujung kamarnya. Ia memainkannya dengan lembut. Suaranya pun tak senyaring yang kubayangkan, seakan jemarinya menekan tuts dengan sangat tepat dan presisi.
Ia memainkan sebuah lagu yang tak pernah kudengarkan sebelumnya. Lagu tersebut tak bisa kukatakan sebagai sebuah lagu yang indah, namun di beberapa bagian tertentu tak dapat terlupa dari benakku, seakan lagu itu langsung memiliki mantranya tersendiri. Kukira waktu itu lagu yang dimainkan Maria hanyalah lagu umum yang tak banyak orang ketahui, tetapi setelah kuperhatikan dan kudengarkan, ada sesuatu tentang dirinya yang tersirat di sana. seperti lagu itu memiliki satu atau dua melodi yang ketika ia tekan yang terbayang di kepalaku adalah dirinya yang sedang menyendiri. Belakangan aku pun yakin itu adalah lagu ciptaannya. Sangat yakin. Seperti dirinya yang tak indah, lagu itu juga sama, tapi keduanya menyimpan sesuatu yang misterius, yang hanya dapat kuterka saja apa artinya.
Setelah hari itu seringkali kubermimpi tentangnya, memainkan lagu uniknya dengan cara yang lembut dan sedikit elegan. Rasanya mimpi tentang seorang perempuan yang sedang kita dekati wajar saja, namun ketika mengalami mimpi itu aku merasakan ketidakwajaran yang benar-benar aneh. Seperti berusaha menangkap cahaya yang redup, tiap kali aku berusaha memandang dirinya di mimpi itu, yang kudapati hanyalah kekosongan di sumber suaranya. Tak kudapati sesosok yang memainkan piano dengan anggun dan tanpa busana, menampakkan punggungnya yang khas yang tak dapat kubayangkan lagi bagaimana bentuknya.
“Setiap pria yang kudekati mengalami mimpi begitu,” ucap Maria ketika kuceritakan mimpi itu padanya. Dengan wajah datarnya dan tatapan tanpa arti. Ia pun berlalu begitu saja, seakan yang kuceritakan adalah kewajaran yang terjadi sehari-hari.
Pada dasarnya Maria memang selalu berlagak seperti itu, wajah datar dan bertingkah normal di saat tak normal, lalu ia bertingkah tidak normal ketika sedang normal. Dan karena itu juga aku merasa kalau saat itu adalah “kenormalan” baginya.
Lambat laun intensitas hibernasinya itu kian bertambah sering. Sebetulnya tak ada yang aneh, bagiku juga suatu saat hubungan kami yang hanya sebatas kenal akan lenyap begitu saja, namun perlahan-lahan aku menyadari beberapa hal mulai terasa berbeda. Berbeda dalam artian sesungguhnya. Seperti ketika bersama Maria, rasanya aku bisa mendengar detik jam dinding yang berputar sangat lambat dan tenang. Tanpanya suara jam itu perlahan memudar dan tiba-tiba waktu berlalu dengan terburu-buru.
mimpi tentang dirinya bermain piano tanpa busana pun semakin sering kualami. Dan semakin sering kualami, melodi yang tadinya berulang mulai menunjukkan variasi tak menentu. Di mimpi itu ia bagaikan seorang pemain piano profesional yang sedang melakukan pertunjukan untuk terakhir kalinya. Memainkan segala macam lagu ciptaannya tanpa henti hanya dengan melodi dan tak mengeluarkan suara indahnya sedikitpun.
Hanya satu yang menggangguku dengan mimpi itu, fakta bahwa lagu-lagu yang ia mainkan tak pernah menggambarkan tentang diriku. Aku bukan musisi segala yang tahu tentang hal semacam itu, dengan kata lain ini hanya perasaanku dan kuharap hanya perasaanku saja. Kuharap satu buah dari lagu yang ia mainkan memang menggambarkan diriku ini, karena pada dasarnya, kukira ia lebih mengenal diriku ketimbang diriku sendiri, maka untuk menjelaskan sesuatu tentangku melalui lagu, sudah pasti ia ahlinya dan aku hanya bisa menerka bagian mana yang diperuntukkan untukku.
Dan setiap malam yang kulakukan hanyalah menunggui mimpi itu, mendengarkan satu persatu lagunya dan memandangi kekosongan di sudut kamar.
Tentang mimpi dan tentang hibernasi Maria, kurasa keduanya memiliki sebuah hubungan yang tak kasat mata, seperti ada sebuah benang khusus nan bening yang mengikat keduanya. Menjalin semua hal yang tak kasat mata pula untuk membentuk keanehan, seperti Maria.
Semakin lama kami semakin jarang bertemu dan semakin jarang bertemu membuatku semakin rindu. Akibat perilakunya sedikit banyak aku pun terdampak, namun tidak seserius itu. Pikirku.
